BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak pada masa Nabi, telah diperkirakan bahwa pada suatu saat nanti akan datang masanya dimana antara laki-laki dan perempuan jumlahnya tidak seimbang lagi. Jumlah perempuan/wanita akan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah laki- laki. Dalam kurun waktu belakangan ini, berita poligami menjadi sebuah kontroversi dalam pembicaraan hubungan sosial dan agama. Poligami juga mulai dipraktekan oleh orang yang dipandang terkemuka atau ahli dalam agama. Keadaan ini dipengaruhi oleh faktor yang telah disebutkan di atas. Dan mungkin nantinya poligami memang menjadi sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan oleh para laki- laki.
Namun berbicara masalah poligami akan mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini datangnya dari ulama’ dan kaum beriman. Tetapi, ada pula yang menanggapinya secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan intuk menolak poligami, entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan alasan ketidakadilan.
Dalam makalah ini disajikan pandangan-pandangan yang membolehkan poligami dengan batasan-batasan yang ada tentunya. Sebatas bagi orang yang mengerti dan memahami poligami, serta faktor dan alasan poligami boleh dilakukan dalam praktek hubungan beragama dan sosial.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi poligami menurut pandangan agama dan antropologi sosial?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat Indonesia tentang poligami?
3. Bagaimana hukum poligami dalam pandangan agama Islam?
4. Bagaimana praktek poligami pada masa Rasulullah ?
5. Dengan melihat praktek poligami pada masa Rasulullah serta menilik keadaan saat ini,apakah praktek poligami dapat dan layak dipraktekan pada masa kini?
C. TUJUAN
1. Mengetahui definisi poligami menurut pandangan agama dan antropologi sosial.
2. Mengetahui tanggapan masyarakat tentang poligami.
3. Mengetahui hukum poligami dalam pandangan agama Islam.
4. Mengetahui bagaimana praktek poligami dan alasan diberlakukanya poligami pada masa Rasul
5. Mengidentifikasi cara menyikapi praktek poligami.
D. MANFAAT
1. Bagi kaum laki-laki
· Memahami bagaimana poligami sebenarnya sesuai apa yang diajarkan dalam agama.
· Mampu menyikapi dengan baik dan benar mengenai praktek poligami dan segala perbincangannya dalam kehidupan bermasyarakat.
· Mengerti aturan-aturan/ batasan-batasan dimana poligami harus dipraktekan.
2. Bagi kaum Perempuan
· Memahami bagaimana poligami sebenarnya sesuai apa yang diajarkan dalam agama berikut hukumnya.
· Mampu menyikapi dengan baik dan benar mengenai praktek poligami dan segala perbincangannya dalam kehidupan bermasyarakat.
· Meluruskan pandangan bahwa tidak sepenuhnya poligami berdampak negatif dan menentang keras poligami hanya karena takut tidak didapatkannya kebahagiaan duniawi yang sesaat.
· Mampu memahami adanya hak dan kewajiban bagi pelaku poligami serta kaum perempuan
3. Bagi Mahasiswa
· Menambah wawasan keagamaan serta social mengenai poligami
· Memberikan pengalaman dalam penyusunan makalah agama terutama tentang poligami.
· Mampu berpikir rasional dalam menilai praktek poligami.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN POLIGAMI
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.
Menurut berbagai paham dan agama poligami dinilai sebagai suatu masalah yang menyangkut kehidupan social manusia. Berikut sedikit tentang poligami menurut perspektif berbagai agama:
· Hindu
Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan poligami.
· Yudaisme
Walaupun kitab-kitab kuna agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.
· Kristen
Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan lain-lain) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan poligami berdasarkan kitab-kitab kuna agama Yahudi.Gereja Katolik merevisi pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga sekarang.
· Mormonisme
Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak tahun 1840-an hingga sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882 penganut Mormon memprotes keras undang-undang anti-poligami yang dibuat pemerintah Amerika Serikat.Namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktekkan poligami.
· Islam
Islam pada dasarnya 'memperbolehkan' seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Islam 'memperbolehkan' seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3). Poligini dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang memperketat aturan poligini untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara arab dimana poligami tidak diperbolehkan.
Indonesia merupakan Negara hukum sehingga segala sesuatu mengenai aspek kehidupan diatur menggunakan hukum yang umumnya bersifat mengatur dan mengikat. Begitu pula masalah tentang poligami, dasar hukumnya yaitu UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia.
Persyaratan-persyaratan poligami yang diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam termuat dalam Bab IX dengan judul Beristeri lebih dari satu orang. Pasal 55 berbunyi :
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 berbunyi :
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jika seorang suami yang berpoligami melakukan pernikahan dibawah
tangan (sirri) maka akibatnya secara hukum, isteri dan anak-anak yang lahir dari akibat perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak berhak mendapatkan harta warisan dari suami dan bapaknya. Anak-anak juga tidak berhak mendapatkan akte kelahiran. Isteri dan anak-anak tersebut dianaktirikan oleh negara, sebab sejak awal mereka tidak tunduk pada aturan negara (ulil amri).
Sangat dimungkinkan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
tidak dicatat melakukan perkawinan yang diharamkan diantara mereka, yang sebenarnya masih ada hubungan darah/kekerabatan, karena asal usul mereka tidak dapat diketahui dengan sebenarnya karena ketiadaan bukti-bukti tertulis yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. Dengan demikian janda dari anak angkat tidak boleh dikawini oleh ayah angkatnya.
Islam tidak menghendaki tradisi seperti ini terus berlangsung. Itu
sebabnya Zaid tidak dipanggil “Zaid bin Muhammad”, melainkan tetap “Zaid bin Haritsah”. Islam telah berusaha merombak tradisi yang sesat dengan tradisi yang masuk akal dan terhormat, termasuk dalam praktik berpoligami.
Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW bukan atas dasar nafsu
atau sarana pemenuhan kebutuhan biologis semata (seksual) tetapi lebih bersifat sosial dan mengangkat derajat kaum perempuan pada masa itu.
Poligami di Indonesia
Praktik poligami di Indonesia diatur secara ketat.Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami. Tetapi jika ada hal-hal yang menghendaki suami beristeri lebih dari satu , ia dapat mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin, yaitu :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedang alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) bersifat kumulatif,
artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi, yaitu :
a. Adanya persetujuan dari isteri / isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. berpoligami. Surat an-Nisa’ ayat 3 hanya mempertegas bahwa seorang suami tidak akan mampu berlaku adil pada isteri-isterinya, sungguhpun dia ingin sekali bersikap seadil-adilnya.
Poligami yang diatur dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas adalah jika
seorang suami dengan isteri dan anak-anaknya sudah mencapai taraf kehidupan ekonomi yang mapan atau berlebih, maka hendaklah si suami mengambil anak yatim menjadi anak asuhnya. Akan tetapi jika dia khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim tersebut, maka bolehlah dia mengambil wanita lain untuk menjadi isterinya yang kedua, ketiga dan keempat dalam rangka pemerataan pendapatan dan kesejahteraan kehidupan ekonomi dalam masyarakat dan menghindarkan diri dari melakukan perbuatan zina serta dalam rangka mewujudkan keseluruhan kehidupan rumah tangga yang sakinah.
Perkawinan Rasulullah SAW dengan Zainab binti Jahsy, nama semula,
Birrah, keturunan bangsawan tinggi. Sebelumnya Zainab dikawinkan dengan anak angkat Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, seorang budak dari Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama Rasulullah SAW. Yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bermaksud mempersatukan Zainab- anak bangsawan-
dengan Zaid -mantan budak- untuk mengajarkan dan menjelaskan tentang prinsip persamaan kepada manusia secara amaliah, juga untuk mendobrak tradisi fanatisme (ta’asshub) kesukuan, gila hormat, penyakit kebangsawanan yang merupakan warisan jahiliyah.
Tetapi perkawinan itu kandas, ternyata Zainab tidak menggauli suaminya
dengan baik karena ia merasa lebih tinggi derajatnya daripada suaminya. Zainab terpengaruh wanita-wanita Quraisy yang mencemooh bahwa sebagai hasil ia masuk Islam ia dapat suami mantan budak belian yang hitam lagi buruk rupa.
Setelah terjadi perceraian antara Zainab dan Zaid, Allah menyuruh
Rasulullah SAW mengawini Zainab dengan alasan bahwa Zainab setelah dicerai menjadi bulan-bulanan dan bahan olok-olokan orang, bahwa ia janda mantan budak belian. Dengan dinikahi Rasulullah SAW, maka kehormatan Zainab menjadi terangkat kembali.
Pada tradisi jahiliyah, Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW,
kedudukannya sama persis dengan anak kandung, baik mengenai sebutan
(laqob) Zaid bin Muhammad, hak waris, hubungan mahram, dan lain-lain. Kegemaran poligami tanpa batas ini merupakan tradisi yang tidak mungkin dihilangkan begitu saja di kalangan bangsa Arab. Terhadap tradisi yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat, kemudian setelah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW menoleransi poligami terbatas seperti tertera dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3.
Pada zaman Nabi SAW orang-orang yang masuk Islam, apabila
mempunyai isteri lebih dari empat orang, maka lebihnya disuruh menceraikan, sehingga tinggal empat orang isteri saja. Hal ini terjadi pada diri Ghilan yang memiliki sepuluh orang isteri sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia disuruh memilih empat untuk tetap menjadi isterinya dan selebihnya diceraikan.
Poligami Islam
Tujuan pernikahan dalam Islam sudah sangat jelas, yaitu untuk
menciptakan rumah tangga sakinah (yang tenang dan damai) antara suami-isteri dan anak-anak mereka. Rumah tangga sakinah akan tercapai apabila pasangan suami isteri terdapat saling pengertian, saling sayang, saling hormat, saling tolong, saling melindungi, saling menunaikan dan mendahulukan kewajiban dari haknya, serta mendapatkan anak keturunan sebagai buah dari cinta kasih diantara mereka (QS. ar-Ruum : 21)
Islam membolehkan seorang suami beristeri lebih dari satu asal mampu
memberi nafkah dan berlaku adil terhadap para isteri dan anak-anaknya (QS. an-Nisa’ (4) : 3)
“ dan jika kamu tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Jumhur ulama (mayoritas ulama) menyatakan bahwa poligami adalah
boleh (ibahah), artinya boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Para ulama bahasa juga sependapat bahwa penyebutan “dua, tiga, empat” adalah penyebutan bilangan bukan penjumlahan. Ash-Shabuni mengatakan bahwa para ulama sepakat tentang hukum haramnya seorang suami memiliki isteri lebih dari empat sekaligus.
Islam sama sekali tidak melarang poligami, melainkan hanya meringankan dan mengurangi kebiasaan orang Arab yang memang gemar berpoligami.
Islam termuat dalam Bab IX dengan judul Beristeri lebih dari satu orang. Pasal 55 berbunyi :
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 berbunyi :
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jika seorang suami yang berpoligami melakukan pernikahan dibawah
tangan (sirri) maka akibatnya secara hukum, isteri dan anak-anak yang lahir dari akibat perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak berhak mendapatkan harta warisan dari suami dan bapaknya. Anak-anak juga tidak berhak mendapatkan akte kelahiran. Isteri dan anak-anak tersebut dianaktirikan oleh negara, sebab sejak awal mereka tidak tunduk pada aturan negara (ulil amri).
Sangat dimungkinkan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
tidak dicatat melakukan perkawinan yang diharamkan diantara mereka, yang sebenarnya masih ada hubungan darah/kekerabatan, karena asal usul mereka tidak dapat diketahui dengan sebenarnya karena ketiadaan bukti-bukti tertulis yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. Dengan demikian janda dari anak angkat tidak boleh dikawini oleh ayah angkatnya.
Islam tidak menghendaki tradisi seperti ini terus berlangsung. Itu
sebabnya Zaid tidak dipanggil “Zaid bin Muhammad”, melainkan tetap “Zaid bin Haritsah”. Islam telah berusaha merombak tradisi yang sesat dengan tradisi yang masuk akal dan terhormat, termasuk dalam praktik berpoligami.
Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah SAW bukan atas dasar nafsu
atau sarana pemenuhan kebutuhan biologis semata (seksual) tetapi lebih bersifat sosial dan mengangkat derajat kaum perempuan pada masa itu.
Poligami di Indonesia
Praktik poligami di Indonesia diatur secara ketat.Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami. Tetapi jika ada hal-hal yang menghendaki suami beristeri lebih dari satu , ia dapat mengajukan izin poligami kepada Pengadilan Agama dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin, yaitu :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedang alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) bersifat kumulatif,
artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi, yaitu :
a. Adanya persetujuan dari isteri / isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. berpoligami. Surat an-Nisa’ ayat 3 hanya mempertegas bahwa seorang suami tidak akan mampu berlaku adil pada isteri-isterinya, sungguhpun dia ingin sekali bersikap seadil-adilnya.
Poligami yang diatur dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di atas adalah jika
seorang suami dengan isteri dan anak-anaknya sudah mencapai taraf kehidupan ekonomi yang mapan atau berlebih, maka hendaklah si suami mengambil anak yatim menjadi anak asuhnya. Akan tetapi jika dia khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim tersebut, maka bolehlah dia mengambil wanita lain untuk menjadi isterinya yang kedua, ketiga dan keempat dalam rangka pemerataan pendapatan dan kesejahteraan kehidupan ekonomi dalam masyarakat dan menghindarkan diri dari melakukan perbuatan zina serta dalam rangka mewujudkan keseluruhan kehidupan rumah tangga yang sakinah.
Perkawinan Rasulullah SAW dengan Zainab binti Jahsy, nama semula,
Birrah, keturunan bangsawan tinggi. Sebelumnya Zainab dikawinkan dengan anak angkat Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, seorang budak dari Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama Rasulullah SAW. Yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bermaksud mempersatukan Zainab- anak bangsawan-
dengan Zaid -mantan budak- untuk mengajarkan dan menjelaskan tentang prinsip persamaan kepada manusia secara amaliah, juga untuk mendobrak tradisi fanatisme (ta’asshub) kesukuan, gila hormat, penyakit kebangsawanan yang merupakan warisan jahiliyah.
Tetapi perkawinan itu kandas, ternyata Zainab tidak menggauli suaminya
dengan baik karena ia merasa lebih tinggi derajatnya daripada suaminya. Zainab terpengaruh wanita-wanita Quraisy yang mencemooh bahwa sebagai hasil ia masuk Islam ia dapat suami mantan budak belian yang hitam lagi buruk rupa.
Setelah terjadi perceraian antara Zainab dan Zaid, Allah menyuruh
Rasulullah SAW mengawini Zainab dengan alasan bahwa Zainab setelah dicerai menjadi bulan-bulanan dan bahan olok-olokan orang, bahwa ia janda mantan budak belian. Dengan dinikahi Rasulullah SAW, maka kehormatan Zainab menjadi terangkat kembali.
Pada tradisi jahiliyah, Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW,
kedudukannya sama persis dengan anak kandung, baik mengenai sebutan
(laqob) Zaid bin Muhammad, hak waris, hubungan mahram, dan lain-lain. Kegemaran poligami tanpa batas ini merupakan tradisi yang tidak mungkin dihilangkan begitu saja di kalangan bangsa Arab. Terhadap tradisi yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat, kemudian setelah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW menoleransi poligami terbatas seperti tertera dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3.
Pada zaman Nabi SAW orang-orang yang masuk Islam, apabila
mempunyai isteri lebih dari empat orang, maka lebihnya disuruh menceraikan, sehingga tinggal empat orang isteri saja. Hal ini terjadi pada diri Ghilan yang memiliki sepuluh orang isteri sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia disuruh memilih empat untuk tetap menjadi isterinya dan selebihnya diceraikan.
Poligami Islam
Tujuan pernikahan dalam Islam sudah sangat jelas, yaitu untuk
menciptakan rumah tangga sakinah (yang tenang dan damai) antara suami-isteri dan anak-anak mereka. Rumah tangga sakinah akan tercapai apabila pasangan suami isteri terdapat saling pengertian, saling sayang, saling hormat, saling tolong, saling melindungi, saling menunaikan dan mendahulukan kewajiban dari haknya, serta mendapatkan anak keturunan sebagai buah dari cinta kasih diantara mereka (QS. ar-Ruum : 21)
Islam membolehkan seorang suami beristeri lebih dari satu asal mampu
memberi nafkah dan berlaku adil terhadap para isteri dan anak-anaknya (QS. an-Nisa’ (4) : 3)
“ dan jika kamu tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Jumhur ulama (mayoritas ulama) menyatakan bahwa poligami adalah
boleh (ibahah), artinya boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Para ulama bahasa juga sependapat bahwa penyebutan “dua, tiga, empat” adalah penyebutan bilangan bukan penjumlahan. Ash-Shabuni mengatakan bahwa para ulama sepakat tentang hukum haramnya seorang suami memiliki isteri lebih dari empat sekaligus.
Islam sama sekali tidak melarang poligami, melainkan hanya meringankan dan mengurangi kebiasaan orang Arab yang memang gemar berpoligami.
B. TANGGAPAN MASYARAKAT TENTANG POLIGAMI
Berbicara masalah poligami akan mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini datangnya dari ulama’ dan kaum beriman. Tetapi, ada pula yang menanggapinya secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan untuk menolak poligami, entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan alasan ketidakadilan. Alasan ketidakadilan inilah yang biasa digunakan sebagai tameng seorang istri ketika dihadapkan dalam masalah untuk memilih antara dicerai atau dipoligami. Padahal sebenarnya, diperbolehkannya poligami dalam islam karena alasan-alasan berikut :
1. Seorang wanita mengalami haid, dan nifas, juga penghalang lainnya yang menghalanginya untuk melakukan kewajiban seorang istri yang paling khusus,
2. Allah telah menjalankan kebiasaan bahwa laki-laki lebih sedikit jumlahnya dari wanita, dan laki-laki lebih banyak mendekati sebab-sebab kematian daripada wanita di segala sisi-sisi kehidupan. Oleh karena itu, apabila seorang lelaki dibatasi pada satu wanita, maka wanita dalam jumlah besar akan terhalangi dari pernikahan, sehingga memaksa mereka untuk melakukan perbuatan keji,
3. Wanita semuanya (pada dasarnya) siap untuk menikah, sementara banyak laki-laki tidak mampu tidak mampu untuk melakukan kewajiban-kewajiban nikah karena miskin. Seandainya dibatasi pada satu istri, sekian banyak kaum wanita yang siap menikah akan tersia-siakan karena ketiadaan pasangan.
Jadi, Allah membolehkan berpoligami itu demi kebaikan wanita pada umumnya, dalam hal agar mereka tidak terhalangi dari pernikahan. Juga demi maslahat kaum laki-laki, agar manfaatnya tidak terhenti saat istrinya yang satu berhalangan. Di samping itu, demi maslahat umat dengan memperbanyak jumlah mereka…(Adwa’ul Bayan, tafsir surat al-Isra’ ayat 9 dengan diringkas).
C. POLIGAMI DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM
Islam adalah agama fitrah yang mengiktiraf kepelbagaian keperluan dan kehendak manusia dalam hidup berpasangan. Berasaskan kepada keadaan inilah Islam membenarkan poligami yang merupakan amalan masyarakat turun temurun sejak sebelum kedatangan Islam lagi.
Bagi yang memastikan amalan poligami secara yang lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup ummah seluruhnya, Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu yang menghadkan amalan yang bebas sebelum ini dan mengambil jalan pertengahan yang lebih wajar. Syariat Islam menetapkan bahawa seorang lelaki boleh berkahwin dengan lebih dari seorang perempuan tetapi tidak melebihi empat orang, sesuai dengan ayat Al-Qur’an :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)
Ayat di atas yang sering digunakan dalil untuk menolak poligami juga sebetulnya membolehkan poligami.
Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disempurnakan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai rahmat bagi seluruh hamba-Nya, sehingga agama ini tidak butuh tambahan, pengurangan dan otak-atik.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Di antara rahmat Allah -Ta’ala- kepada hamba hamba-Nya, disyari’atkannya “poligami” (seorang laki laki memiliki lebih dari satu istri) berdasarkan dalil-dalil yang akan datang.
Poligami merupakan bukti kesempurnaan Islam, lihat kesempurnaan ajaran Islam yg sangat sesuai dengan keadaan zaman, sebagaimana sensus dunia membuktikan saat ini perbandingan jumlah pria dan wanita sudah 1 banding 4, dan hadits mengatakan kelak di akhir zaman perbandingan pria dan wanita akan 1 banding 40,maka pengingkaran terhadap poligami berarti mendukung banyaknya wanita yg tak bersuami, banyaknya wanita yg melacur, wanita penghibur dll, karena wanita wanita itu tak mendapatkan suami, suami yg membimbingnya pada kemuliaan, hal ini muncul sebab pengingkaran manusia pada hukum Allah,mereka yg mengingkari hukum Allah itu bagaikan ibu yg melarang anaknya menyentuh Bara Api, dan anaknya tak percaya dan merasa harus membuktikannya, maka anak itu menelan bara api lalu menjerit menyalahkan ibunya..!, ibunya tak bersalah karena telah mengingatkannya. Jumlah wanita lebih banyak dari pria, dan diwaktu yg bersamaan muncullah ajaran Muhammad saw yg memperbolehkan berpoligami. Sesuai bukan?,Jelaslah bahwa ajaran Muhammad saw adalah ajaran yg paling sempurna mengatasi masalah bertambahnya jumlah wanita daripada pria di masa kini,dan tak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini kecuali dengan ajaran Allah yg disampaikan Nya pada Muhammad saw dengan Poligami.Pengingkaran atas poligami akan mengacaukan ekosistem dunia, merekalah perusak dan pembuat kerusuhan, dan didalam Islam poligami dibolehkan, dan bukan diwajibkan, bila mereka merasa mampu berpoligami maka boleh, bila mereka takut tidak adil maka cukup satu (Annisa-3).Dan dalam kitab merekapun diceritakan bahwa Ibrahim as telah menikahi dua Isteri dalam kehidupannya, dan pada alkitab mereka bercerita tentang Daud as dan Sulaiman as yang memiliki isteri-isteri lebih banyak dari Rasulullah saw.
Ada beberapa hadits yang merujuk pada hal tersebut. Sabda rasul saw : Nikahilah para wanita(nisa), sungguh mereka itu akan menyebabkan datangnya rizki pada kalian (mustadrak alaa shahihain hadits no.2679)Istri Barra? bin Muawwir ra berkata kepada Rasul saw : aku syaratkan pada suamiku agar jangan menikah lagi, maka Rasul saw bersabda : ucapan itu tidak benar? (Riwayat imam Tabrani dan periwayatnya shahih, zawaid Juz 4 hal 255)Nikahilah wanita yg dapat banyak berketurunan dan keibuan, sungguh aku akan membanggakan banyaknya ummatku dihari kiamat (HR Sunan Imam baihaqi Alkubra hadits no.13254) demikian pula Rasul saw melakukannya, demikian para sahabat, demikian para ulama.memang ada penjelasan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibn hajar dalam Fathul Baari Almasyhur bahwa Rasul saw banyak menikah namun tidak mengurangi khusyu’nya, tak pula mengurangi kegiatannya sebagai pengembang risalah, nah.. selayaknya mereka yg akan berpoligami tak sembarang melakukannya.saudaraku, contohnya saja ketika seseorang muslim ingin melakukan umroh yg sunnah, tapi niatnya bukan umroh ikhlas, tapi hanya ingin belanja ke mekkah, lihat wanita wanita iran dan mesir, iseng iseng kenalan dengan mereka.apakah. hal itu tentu disebut umroh, namun tentunya menyimpang dan penuh dosa, akan tetapi tak bisa pula kita meniadakan / melarang umroh karena banyak yg disalahgunakan,
hal itu merupakan kesalahan pula.Demikian pula poligami, ia tetap sunnah, namun bila oknum yg berbuat penyimpangan maka tak mungkin hukum itu dirubah, karena itu adalah kesalahn oknum.contoh lain shalat ied misalnya, ada sekelompok orang yg shalat ied itu untuk pamer mobil baru, atau baju baru atau cari pasangan,
maka ini adalah oknum penyelewengan, namun oknum penyelewengan tak bisa membuat kita melarang shalat ied.poligami ini sangat berat, bila tak disertai niat ikhlas dan campur tangan dari kelembutan ilahi maka dapat dipastikan rumah tangga akan hancur. Jadi dalam pelaksanaanya,poligami tetap harus memiliki pedoman dan batasan sesuai dengan hadist berikut:
hal itu merupakan kesalahan pula.Demikian pula poligami, ia tetap sunnah, namun bila oknum yg berbuat penyimpangan maka tak mungkin hukum itu dirubah, karena itu adalah kesalahn oknum.contoh lain shalat ied misalnya, ada sekelompok orang yg shalat ied itu untuk pamer mobil baru, atau baju baru atau cari pasangan,
maka ini adalah oknum penyelewengan, namun oknum penyelewengan tak bisa membuat kita melarang shalat ied.poligami ini sangat berat, bila tak disertai niat ikhlas dan campur tangan dari kelembutan ilahi maka dapat dipastikan rumah tangga akan hancur. Jadi dalam pelaksanaanya,poligami tetap harus memiliki pedoman dan batasan sesuai dengan hadist berikut:
Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”. [Jami’ Al-Bayan (9/284)]
Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. (QS. An-Nisa`: 129)
Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [ Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 207)]
Dalam islam hukum mengenai poligami dapat berubah sesuai dengan keadaan dan kondisi pelaku poligami. Poligami bias menjadi haram, atau makruh, atau mubah, atau sunnah, atau wajib seperti halnya hukum menikah bagi seorang laki- laki. Namun hukum asalnya adalah sunnah.
Syarat poligami
- Berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri dan anak-anak
- Berlaku adil kepada isteri-isteri
- Adil dalam menyediakan kediaman
- Adil dalam giliran bermalam
- Adil dalam musafir
D. PRAKTEK POLIGAMI DAN ALASAN DIBERLAKUKANYA POLIGAMI PADA MASA RASUL.
Rasulullah saw berpoligami setelah istrinya Khodjijah wafat, begitu pula pula para sahabat seperti Abu Bakar As-Sidiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin Affan, demikian pula banyak para sahabat radiyallahu’anhum ajma’in lainya. Pada saat itu praktek poligami yang dilakukan oleh Rasul memiliki tujuan untuk melindungi wanita –wanita, janda yang mana telah ditinggal mati suaminya dalam berperang membela agama. Wanita- wanita tersebut merupakan wanita-wanita yang benar-benar membutuhkan perlindungan baik dalam hal menyangkut dunia ataupun akhirat. Dalam hal itu wanita tersebut masih memerlukan seseorang untuk menjadi suami yang dapat menafkahi dirinya,karena sudah tidak ada yang berkewajiban lagi. Selain itu masih terdapat alasan yang menguatkan adanya paraktek poligami yaitu sebagai seorang manusia, harus ada penerus keturunannya sehingga dengan kata lain harus ada yang namanya perkembangbiakan. Alasan lain yaitu jika seorang wanita sudah tidak bersuami maka tidak ada lagi yang berkewajiban untuk membimbingnya dalam hal agama yang mana merupakan tugas atau kewajiban paling utama sebagai seorang suami.
Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho’il Ash-Shohabah (no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan bersifat kondisional.
E. CARA MENYIKAPI PRAKTEK POLIGAMI
Perlunya poligami untuk dilakukan dalam kehidupan beragama didasarkan dari berbagai alasan yang cukup rasional dari segi pandang manusia sebagai makhluk social. Banyak yang menganggap bahwa poligami hanya menguntungkan bagi kaum laki- laki. Sama sekali itu tidak benar, justru dalam hal ini poligami berusaha untuk memuliakan wanita. Seperti yang kita tahu, dahulu keberadaan wanita sangat mengenaskan dimana wanita hanya diperlakukan seperti barang yang tiadak berharga bahkan dengan mudahnya wanita ( istri) diwariskan dari satu orang ke orang lain. Ada pula yang memperlakukan wanita selayaknya budak,yang mana seorang budak itu adalah salah satu orang yang tidak memiliki kemerdekaan dalam hidupnya. Kedudukan wanita mulai diangkat pada zaman Rasul dengan memberi kebebasan bagi para wanita sedikit demi sedikit dalam berbagai bidang. Jadi poligami tidak sepenuhnya merugikan kaum wanita. Bahkan sebenarnya poligami menjadi beban bagi kaum laki- laki yang harus mereka tanggung dan apa yang ia tanggung tidak seimbang dengan apa yang mereka dapatkan. Dia mesti menanggung nafkah dua keluarga yang meliputi istri dan anak-anaknya. Ia mesti bersabar dan tekun mencari nafkah. Ia mesti berlapang dada dengan problem yang muncul dari kedua keluarganya. Belum lagi apabila kecemburuan menyapa. Ia pun mesti memikirkan pendidikan keluarga besarnya. Ia harus adil dalam member i nafkah, sandang, pangan, dan papan. Harus adil pula ia dalam menggilir istrinya. Apabila hal itu tidak dia lakukan, ancaman telah menghadangnya. Nabi bersabda yang artinya “barangsiapa yang memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satu dari keduanya, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan salah satu sisi tubuhnya lumpuh.”
Dalam kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud dinyatakan , hadist ini menunjukan kewajiban seorang suami untk menyamaratakan antara istri-istrinya , dan haram baginya untuk condong kepada salah satu dari mereka. Allah telah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 129 yang artinya “Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung ( kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
Yang dimaksud ketidakadilan dalam hal nafkah dan giliran, bukan dalam hal rasa cinta, karena hal itu sesuatu yang di luar kemampuan seorang hamba. Itulah beban dan ancaman bagi sang suami.
Adapun si wanita sebenarnya cukup dimuliakan. Nafkah tinggal menerima. Sandang, papan, dan pangan tinggal ia nikmati. Semuanya adalah tanggungan suami dan ia bisa menuntut suami bila tidak adil. Ia sebenarnya berada pada posisi yang diuntungkan.
Keindahan ajaran agama ini dan bagaimana dia hendak membagi kebaikan kepada pemeluknya. Lihat pula kebutuhan manusia akan ajaran ini. Jangan disamakan kondisi setiap manusia, sebagian kaum lelaki sangat membutuhkannya, sebagaimana sebagian perempuan juga sangat membutuhkannya. Jangan menilai masalah ini dengan perasaan iri, cemburu, tidak mau tahu, atau dengan memandangnya dengan sebelah mata. Lihatlah secara utuh dan lengkap dari segala sudut pandangnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Poligami dalam Islam adalah solusi yang ditawarkan apabila terjadi hal-
hal yang diluar kebiasaan. Di Indonesia,masyarakatnya cenderung menentang adanya poligami meskipun ada pula yang setuju. Dari dua anggapan tersebut, memiliki alasan-alasan tersendiri. Kebolehan poligami yang dianjurkan harus didahului oleh alasan-alasan yang wajar, logis dan rasional, seperti isteri dalam keadaan sakit yang tidak dapat melahirkan keturunan, atau akibat tertentu seperti jumlah kaum wanita jauh lebih banyak daripada kaum pria akibat peperangan atau bencana alam, bukan karena nafsu belaka. Selain itu juga ada persyaratan yang harus dipenuhi bagi laki-laki yang ingin berpoligami, seperti harus bersikap adil dalam segala hal.
hal yang diluar kebiasaan. Di Indonesia,masyarakatnya cenderung menentang adanya poligami meskipun ada pula yang setuju. Dari dua anggapan tersebut, memiliki alasan-alasan tersendiri. Kebolehan poligami yang dianjurkan harus didahului oleh alasan-alasan yang wajar, logis dan rasional, seperti isteri dalam keadaan sakit yang tidak dapat melahirkan keturunan, atau akibat tertentu seperti jumlah kaum wanita jauh lebih banyak daripada kaum pria akibat peperangan atau bencana alam, bukan karena nafsu belaka. Selain itu juga ada persyaratan yang harus dipenuhi bagi laki-laki yang ingin berpoligami, seperti harus bersikap adil dalam segala hal.
B. Saran
o Bagi masyarakat umum, hendaknya jangan terlalu memandang dan negative terhadap poligami
o Bagi kaum laki-laki hendaknya dapat menyikapi dengan tepat adanya kebolehan poligami.
o Bagi kaum wanita, janganlah menganggap poligami semata-mata hanya merugikan kaum wanita.
o Dengan adanya pro dan kontra dalam menanggapi poligami, jamgan sampai menimbulkan perpecahan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sunaidi, qomar. 2010. Benang kusut madzhab IAIN. Yogyakarta ; Asy-syariah
www.almakassari.com
http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/5533509.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar